"Stop pi, stop papi..." kata isteri saya setengah berteriak. Dari kaca spion dia melihat kebelakang, BMW type 318 itu terlempar jatuh ke luar badan jalan sebelah kanan. Honda accord putih yang saya setir, stop seketika di pinggir jalan di daerah Lampung. Saya dan isteri buru buru turun. Bersamaan waktunya, beberapa orang pria di pinggir jalan, berlari lari mendekati mobil hitam itu. Tanpa diminta, mereka langsung turun mendekati mobil, yang posisinya tetap tegak, menjejakkan ke empat rodanya di rumput alang alang. Thanks Lord...Anak kedua, Monang yang menyetir, anak ke empat Pahala dan dua temannya selamat, tidak cedera sedikitpun.
Kami belum sampai ke lokasi, mereka ramai ramai berteriak :"Satu...dua...tiga, angkat !!!", BMW type kecil besutan 1990 itu, dengan mudah kembali lagi ke pinggir jalan raya. Saya berkeliling memeriksa, ternyata tidak ada baret sedikitpun. Saya bertanya, apa yang sebenarnya terjadi. Monang, siswa kelas 3 SMA PSKD Jakarta itu berkata :"Di tikungan itu banyak pasir pasir halus, mobil agak bergeser kesamping kanan jalan", katanya. Pahala menambahkan :"Dia menarik rem tangan", katanya menunjuk temannya yang duduk di jok depan. Rupanya dia refleks supaya mobil berhenti, tetapi justru terlempar.
Setelah ngobrol dan pamit kepada sopir truk dkk yang baik hati itu, kami mengucapkan:"Terima kasih", kami pun beranjak dan melanjutkan perjalanan.
Perjalanan dengan mobil sendiri satu keluarga dari Jakarta sampai ke Sibolga, Laguboti, Sumatera Utara sangat mengasikkan dan penuh dengan tantangan. Sepanjang perjalanan panorama Gunung yang lebat menghijau, jurang yang curam terjal, hamparan sawah menguning, air putih jernih mengucur dari batu dan pancuran, sungai yang lebar, rumah penduduk beratap seng berdinding papan. Suatu pemandangan khas Sumatera yang saya rindukan berbeda dengan pemandangan di pulau Jawa.
Perjalanan kami lakukan hanya diwaktu terang saja, karena masih beredar issu di daerah sekitar Lubuk Linggau rawan pencuri, kalau jalan malam. Makanya kami menginap semalam di kota Lubuk Linggau, Sumatera bagian Selatan. Dengan santai kami menghabiskan 3 (tiga) malam menginap di perjalanan pulang pergi. Sekaligus jangan terlalu capek atau mengantuk, justru berbahaya.
Di daerah Bukit Tinggi kami sengaja menginap 2(dua) malam. Malam pertama tidur
lelap di Hotel resik tanpa AC di kaki bukit,karena udara didataran tinggi itu memang dikenal sejuk dingin. Hari kedua menginap di Hotel yang lain di bibir Danau Singkarak. Dari balkon kamar, kami bisa memandang Danau yang tenang dengan riak riak kecil, dimana anak kami beserta temannya main Jet sky. Hati dag dig juga melihat Jet Sky bermanuver berputar jauh dari pantai, kuatir jika terjadi kecelakaan.
Danau Singkarak
Dalam perjalanan berikutnya, kami tidak tahan godaan bau harum yang sangat tajam menyengat hidung dan memancing air liur, tidak kuat menahan selera. Dangau dangau kecil bermunculan di sepanjang jalan sebagai etalase, baik di Sumatera Barat maupun memasuki wilayah Sumatera Utara. Buah durian, favorit keluarga ini pun kami santap dengan tangan telanjang, menggigit dagingnya yang kuning dan empuk itu. Saya memang piawai memilih buah yang ranum, hanya dengan melihat bentuknya dan mencium duri durinya. Keahlian itu datang turun temurun karena kami mempunyai beberapa pohon di kampung kelahiran di Sitahuis, Kecamatan Aekraisan, Tapanuli Tengah.
Sampai di kota Sibolga, tempat saya dibesarkan, tidak lupa kami mengunjungi DTW, Daerah Tujuan Wisata yang terkenal sejak saya masih kecil yaitu pantai Pandan. Makan siang istimewa dengan terlebih dulu memilih Ikan laut yang masih hidup segar,dibakar langsung. Masih panas panas disantap campur dengan cabe rawit dipotong potong kecil, asam, kecap, bawang. Aduh.... nikmatnya, mengalahkan menu restoran di Hotel berbintang lima. Makanan pedas hangat sambil mata memandang ke laut lepas dengan hembusan angin sepoi sepoi.
Dengan hati terpaksa, malam kami tidur di Hotel sederhana dengan kamar mandi bersih dan...pakai AC. Tetapi di kala siang kami berada dirumah orang tua di Jalan Dolok Martimbang, Sibolga. Kejadian ini menjadi buah bibir bagi keluarga.
Issu lain yang tidak terpikirkan waktu awal tahun 1990an awal, adalah kesan membawa dua mobil ke kampung, apakah dinilai merupakan kesombongan atau mau pamer kekayaan. Sejujurnya, tidak terbetik sedikitpun ada niat seperti itu. Bisa saja keluarga atau tetangga menganggap seperti itu, dan itu hak mereka. Namun jika berfikir positive, sebenarnya kami bolehlah dianggap menjadi keluarga idola, untuk memotivasi mereka untuk terus sekolah hingga Perguruan Tinggi, sebagai syarat untuk memperoleh pekerjaan yang layak.
Keesokan harinya, kami meneruskan perjalanan ke utara , melewati kampung Lapo Buntul, 20 km dari Sibolga arah Medan, dimana berdiri sebuah Sekolah dengan bangunan sangat sederhana, SD.Negeri Rampa,dimana dulu saya sekolah. Kami menawarkan bantuan sekedarnya dan Guru Guru hanya mengharapkan Radio kaset dan pakaian Olah raga, yang dengan tulus kami sumbang.
Tiga km dari sekolah itu,arah ke Tarutung, kami tiba di kampung tempat saya lahir, Lapaan Lombu. Disana Bapak dan Ibu dikebumikan, dikaki bukit, hanya 15 meter dari pinggir jalan. Anak saya paling bungsu berkata:"Papi/mami nanti jangan dikubur disini", katanya dengan polos, seraya melanjutkan :"Jauh sekali jika datang dari Medan", katanya. Jarak Medan - Sibolga, 365 km, ditempuh 7 - 8 jam dengan kondisi jalan mulus. Betul juga, kami tidak berniat Rest In Peace disini, bisa bisa dilupakan, tidak akan dilihat oleh keturunan. Syukur saat ini, 2016 sudah ada pesawat Garuda Jakarta - Sibolga - Medan - Sibolga - Jakarta.
Perjalanan dilanjutkan ke Utara lagi melewati kota Tarutung yang dingin. Sedikit diluar kota, melewati pemandian air hangat belerang, aek gurgur dari Gunung, berdiri sebuah papan nama bertuliskan "Desa Situmeang". Memang di kampung Sipoholon ini adalah asal muasal nenek moyang marga Situmeang dan kebetulan merupakan Kantor Pusat Gereja Batak, HKBP (Huria Kristen Batak Protestan). Pada bulan Juli 2009 di sini diadakan pertemuan raya marga Situmeang sedunia. Kami tidak ada rencana menginap disini, karena tidak ada keluarga langsung yang kami kenal.
Selepas kota Tarutung, melewati kota kecil , kota Siborong borong dengan ikon kota yang terkenal sejak zaman doeloe yaitu kue "ombus-ombus". Disebut ombus ombus karena kuenya dijual panas panas diatas sepeda, dalam keadaan panas. Para pedagang naik sepeda mendatangi kendaraan yang berhenti yang biasanya membeli untuk oleh oleh. Sedikit keluar kota lagi ada sebuah kampung yang tersohor dengan produk unggulan yaitu kacang yang dikenal dengan kacang Sihobuk, sesuai dengan nama kampungnya. Kacangnya gurih, menjadi teman asyik dalam perjalanan.
Satu jam kemudian kami melewati jalan berkelok kelok dengan pemandangan menakjubkan, Danau Toba terhampar jauh disebelah kiri jalan dan di lembah terhampar padi yang menguning hingga ke bibir Danau, persis seperti lukisan lukisan yang banyak dijual. Tak selang berapa lama kemudian kami melewati persawahan dikiri kanan jalan sebelum memasuki kota Balige. Daerah ini, dulu masuk kabupaten tapanuli Utara, dikenal sebagai Lumbung Padi untuk warga Tapanuli. Setengah jam kemudian kami tiba ke tempat tujuan akhir, kota kecamatan Laguboti. Dari sana berbelok ke kanan memasuki jalan sempit dari tanah, diapit pematang sawah, sejauh 5 km sampai di kampung Haunatas, dimana isteri saya lahir.
Kunjungan ke Tanah Batak asli ini, baru pertama sekali buat anak anak, melihat sendiri secara langsung rumah Ompungnya dan juga rumah asli Batak dengan tiang tinggi (photo). Rumah rumah di kampung disini pakai tiang dan tangga, dimana babi peliharaan bebas berkeliaran. Dengan hati hati kami harus melangkah menghindari kotoran menempel disepatu.
Hanya 50 meter dari situ terletak kuburan keluarga, kuburan Ayah dan kakek/nenek isteri, yang saya dan anak anak tidak sempat kenal. Dengan bercanda Pahala bertanya :"Kakek punya isteri dua?", katanya. Ayah isteri, marga Pasaribu, meninggal sewaktu dia masih dalam kandungan Ibunya. Artinya, isteri tidak sempat mengenal Ayah kandungnya dan dia dibesarkan oleh Ayah tiri. Siang itu pula kami kembali lagi ke Sibolga untuk menginap semalam sebelum pulang ke Jakarta.
Dalam perjalanan pulang ke Jakarta, disiang hari yang terik, memasuki wilayah Kabupaten Sarolangun, Propin si Jambi, jalannya mulus dan lurus sepanjang mata memandang. Untung masih segar karena situasi seperti itu biasanya membawa mata mengantuk. Kami jarang berpapasan dengan kendaraan, oleh karena itu kecepatan rata rata diatas 100 km/jam. Tiba tiba seekor kambing tambun menyeberang jalan. Brakkk.....dia terlempar ke depan, bangun dan beringsut terseret seret ke semak semak dipinggir jalan. Kamipun berhenti, turun melihat radiator Honda Accord keluaran 1990 itu ringsek. Kuatir jika penduduk datang dan marah, mobil saya larikan masuk kota Sarolangun, tidak memeriksa apakah air di radiator masih utuh atau berkurang.
Yang pertama kami cari bukan bengkel mobil, tetapi lokasi Kantor Cabang BRI, karena saya bekerja di Kantor Pusat BRI Jakarta. Kebetulan Kepala cabangnya berada di kantor. Dengan Kepala Cabang saya berkata :"Pak minta tolong dicarikan truk", kata saya. Maksud saya agar Honda Accord yang ringsek itu diangkut truk untuk diperbaiki di bengkel Honda di Jakarta. Dia bertanya:"Kenapa sampai terjadi?", katanya. Saya ulangi lagi kejadiannya serta menambahkan :"Untung mesinnya tidak meledak", kata saya seraya menambahkan :"Air radiatornya kosong menabrak kambing tadi, kami tidak tahu", kata saya geli bercampur bersyukur. Kepala BRI yang lebih junior yang baik hati itu segera mendapat truk, dan sudah sekalian membayar ongkosnya. Setelah mengucapkan terima kasih, kami pun berlalu meneruskan perjalanan memasuki Propinsi Sumatera Selatan.
Dari Sarolangun kami berpindah ke BMW, sedang kedua teman Monang ikut diatas truk sampai ke bengkel Honda, Jl.Kebon Sirih Jakarta. Naik kendaraan sendiri ke Sumatera tanpa sopir memang sangat mengasyikkan, pemandangan indah sepanjang perjalanan, tetapi penuh dengan risiko apabila tidak hati hati.
No comments:
Post a Comment