Saturday, April 16, 2011

KUNJUNGAN TERAKHIR ke LOS ANGELES...???




Dengan kecepatan 40 miles per jam, Lexus biru itu meluncur dari kota La Habra menuju Bandara Los Angeles, LAX. Karena sudah larut malam jalanan free way itu tidak begitu padat dan Bandara dapat dicapai hanya dalam waktu 45 menit. Turun dari mobil mendorong kereta berisi 2 koper besar, sambil memperhatikan sekeliling. Dalam batin timbul pertanyaan apakah ini the last time I saw L.A. Bisa kah kami kesini lagi sekeluarga ber sama sama?
                                               Monang house, La Habra


Sambil menunggu waktu chek in 30 menit lagi, saya sempatkan berkeliling Ruang keberangkatan yang penuh dengan penumpang keberbagai tujuan. Perasaan terasa tersayat perih, mengenang masa lalu bersama keempat anak berkumpul disini, sekali gus miris akan meninggalkan anak kedua yang sudah belasan tahun, nikah dan bekerja di State.

Setelah selesai check in, kami naik ke Lantai 1 memesan kopi dan snack, persis tengah malam, satu jam sebelum take off jam 01 am. Ditempat ini pula kami sering minum bersama 3 anak, yang mengantar kami bila waktu pulang ke Jakarta. Kenangan ini rewind seperti baru saja terjadi, pada hal sudah sepuluh tahu yang lalu, sebelum krisis tahun 1998.
                                                                  LAX Airport, Los Angeles

Sambil menanti panggilan boarding, saya sempatkan berpesan kepada anak saya : "Mon, waktu cutimu jangan dihabiskan, sisakan beberapa hari", kata saya. Dia tidak mengerti maksud saya dan menjawab :"Tahun lalu saya kan sudah cuti ke Indonesia papi", katanya. Sambil meneguk kopi panas saya menambahkan :" Jika ada apa apa sama mami/papi, kamu bisa datang ke Jakarta anytime", kata saya menjelaskan. Dengan tenang dia menjawab :"Kalau ada hal yang sangat penting, boleh kok minta cuti khusus", katanya dengan mantab.

Selama satu semester tinggal di Amerika, ada hal yang aneh dan lucu dipandang dari kaca mata Kebudayaan Indonesia terutama dari sudut pandang adat Batak (walau saya tidak begitu kental mengikutinya). Saya dan besan, warga keturunan China, beristeri suku Batak, sering jalan bersama. Jika dia off dari pekerjaannya di detention center, dia akan menjemput saya.

Pagi pagi dia mengetok kamar saya :"Pak Situmeang, ayo kita exercise", katanya. Dengan Jeep machonya kami berdua berangkat ke fitness building. Di counter dia hanya bilang :"He is my friend", saya mencatatkan nama tanpa bayar, langsung excersise. Rupanya besan sekeluarga member disitu, tapi jarang dipergunakan.

Setelah exercise di lantai 1 untuk otot atau lari di sepeda stationer, dilanjutkan di lantai 2 dengan latihan beban punggung, tangan dan perut. Satu jam cukup menguras keringat dimusim dingin itu. Sambil menunggu pendinginan badan, besan berkata :"Kita mandi air panas di kolam ya", katanya. Sementara lupa dengan kebudayaan Indonesia dan adat Batak (dalam lingkungan Amerika), sayapun ikut turun lagi ke lantai satu. Diruang ganti kedua besan buka baju, sisa pakaian renang. Kemudian melangkah masuk ke kolam hanya dengan pakaian minim. Di kolam bundar kecil itu ada 4 orang lain.

Punggung disemprot dari dinding kolam, rasanya seperti reflexy dipijat pijat dan panas air yang cukup membuat badan segar kembali. Setelah penat hilang, saya diajak lagi:"Mari kita ke ruang spa", katanya.Dua ruang spa hanya beberapa meter dari kolam. Sebelum masuk ruang spa, badan disiram dulu dengan air dingin dari shower air . Dengan hanya memakai handuk, kedua besan ini duduk bersama beberapa orang lain. Keringat bercucuran tiada henti.

Buat saya ini kebersamaan yang unik diantara besan. Dari raut wajahnya, besan saya tidak ada perasaan sungkan, menganggap itu hal biasa dalam lingkungan setempat. Sama biasanya seperti saya diantar oleh menantu saya ke perpustakaan, ke dokter ke mal atau ke tempat lainnya. Dalam budaya Btatak, kedua hal tsb sedapat mungkin dihindari. Kebersamaan seperti ini mungkin for the first and the last time buat saya.

Karena merasa merupakan the Last time ke Library, saya luangkan waktu yang cukup lama memilih Novel.Seorang senior citizen wanita, petugas perpustakaan khusus Buku Buku second dengan ramah menyambut seorang pengunjung senior dan saya. Tanpa sungkan dia berkata :"You are handsome if you smile", katanya, sambil melajutkan :"You buy a lot of books", katanya.

Memang saya membeli Novel Novel karangan Novelis ternama seperti Nora Robert, Mary Higgin Clark, Anne Rice dan David Baldaci. Saya jawab:"I will take it home to Indonesia",sambil membayar. Harga Novel second hanya $ 1 dan relatif masih baru. Disana ada kebiasaan menyumbangkan Buku bekas dan dijual kembali dengan harga murah.Bahkan ada perpustakaan yang menggelar event khusus penjualan khusus Novel second.Peminatnya juga berjubel
                                 Orange County Public Library La Habra branch

Tidak saya sia siakan pula pergi ke Toko Buku besar Borders menjelajahi rak rak buku. Ternyata di rak khusus dijual dengan discount seperti Buku buku Biography tokoh terkenal dan Buku Rohani yang di Indonesia, harganya pasti ratusan ribu rupiah. Di sini cuma dijual paling mahal $ 5.

Ketika check ini di Bandara petugas loket Cberkata hina Airline berkata :"Overweight cost is $ 105". Merasa ongkos itu mahal, saya berkata kepada anak saya :"Ga apa apa, papi tinggal saja koper ini", seraya melanjutkan :"Nanti kirim secara bertahap saja", kata saya. Tetapi dia berpendapat lain dan menjawab:"Tidak apa apa pi", katanya sambil menyerahkan Credit card untuk membayar.

Itulah cerita The last time I saw.....Los Angeles.

Friday, April 15, 2011

SETIR SENDIRI DARI JAKARTA HINGGA SUMATRA UTARA



"Stop pi, stop papi..." kata isteri saya setengah berteriak. Dari kaca spion dia melihat kebelakang, BMW type 318 itu terlempar jatuh ke luar badan jalan sebelah kanan. Honda accord putih yang saya setir, stop seketika di pinggir jalan di daerah Lampung. Saya dan isteri buru buru turun. Bersamaan waktunya, beberapa orang pria di pinggir jalan, berlari lari mendekati mobil hitam itu. Tanpa diminta, mereka langsung turun mendekati mobil, yang posisinya tetap tegak, menjejakkan ke empat rodanya di rumput alang alang. Thanks Lord...Anak kedua, Monang yang menyetir, anak ke empat Pahala dan dua temannya selamat, tidak cedera sedikitpun.

Kami belum sampai ke lokasi, mereka ramai ramai berteriak :"Satu...dua...tiga, angkat !!!", BMW type kecil besutan 1990 itu, dengan mudah kembali lagi ke pinggir jalan raya. Saya berkeliling memeriksa, ternyata tidak ada baret sedikitpun. Saya bertanya, apa yang sebenarnya terjadi. Monang, siswa kelas 3 SMA PSKD Jakarta itu berkata :"Di tikungan itu banyak pasir pasir halus, mobil agak bergeser kesamping kanan jalan", katanya. Pahala menambahkan :"Dia menarik rem tangan", katanya menunjuk temannya yang duduk di jok depan. Rupanya dia refleks supaya mobil berhenti, tetapi justru terlempar.

Setelah ngobrol dan pamit kepada sopir truk dkk yang baik hati itu, kami mengucapkan:"Terima kasih", kami pun beranjak dan melanjutkan perjalanan.
                               BMW 318i thn 1990                                

Perjalanan dengan mobil sendiri satu keluarga dari Jakarta sampai ke Sibolga, Laguboti, Sumatera Utara sangat mengasikkan dan penuh dengan tantangan. Sepanjang perjalanan panorama Gunung yang lebat menghijau, jurang yang curam terjal, hamparan sawah menguning, air putih jernih mengucur dari batu dan pancuran, sungai yang lebar, rumah penduduk beratap seng berdinding papan. Suatu pemandangan khas Sumatera yang saya rindukan berbeda dengan pemandangan di pulau Jawa.

Perjalanan kami lakukan hanya diwaktu terang saja, karena masih beredar issu di daerah sekitar Lubuk Linggau rawan pencuri, kalau jalan malam. Makanya kami menginap semalam di kota Lubuk Linggau, Sumatera bagian Selatan. Dengan santai kami menghabiskan 3 (tiga) malam menginap di perjalanan pulang pergi. Sekaligus jangan terlalu capek atau mengantuk, justru berbahaya.

Di daerah Bukit Tinggi kami sengaja menginap 2(dua) malam. Malam pertama tidur
lelap di Hotel resik tanpa AC di kaki bukit,karena udara didataran tinggi itu memang dikenal sejuk dingin. Hari kedua menginap di Hotel yang lain di bibir Danau Singkarak. Dari balkon kamar, kami bisa memandang Danau yang tenang dengan riak riak kecil, dimana anak kami beserta temannya main Jet sky. Hati dag dig juga melihat Jet Sky bermanuver berputar jauh dari pantai, kuatir jika terjadi kecelakaan.
                                    Danau Singkarak


Dalam perjalanan berikutnya, kami tidak tahan godaan bau harum yang sangat tajam menyengat hidung dan memancing air liur, tidak kuat menahan selera. Dangau dangau kecil bermunculan di sepanjang jalan sebagai etalase, baik di Sumatera Barat maupun memasuki wilayah Sumatera Utara. Buah durian, favorit keluarga ini pun kami santap dengan tangan telanjang, menggigit dagingnya yang kuning dan empuk itu. Saya memang piawai memilih buah yang ranum, hanya dengan melihat bentuknya dan mencium duri durinya. Keahlian itu datang turun temurun karena kami mempunyai beberapa pohon di kampung kelahiran di Sitahuis, Kecamatan Aekraisan, Tapanuli Tengah.


Sampai di kota Sibolga, tempat saya dibesarkan, tidak lupa kami mengunjungi DTW, Daerah Tujuan Wisata yang terkenal sejak saya masih kecil yaitu pantai Pandan. Makan siang istimewa dengan terlebih dulu memilih Ikan laut yang masih hidup segar,dibakar langsung. Masih panas panas disantap campur dengan cabe rawit dipotong potong kecil, asam, kecap, bawang. Aduh.... nikmatnya, mengalahkan menu restoran di Hotel berbintang lima. Makanan pedas hangat sambil mata memandang ke laut lepas dengan hembusan angin sepoi sepoi.


Selama tinggal di Sibolga, ada yang mengganjal di hati, baik di hati keluarga, maupun kami, yang sudah lama hidup di kota besar yaitu "tempat menginap". Kamar di rumah orang tua hanya ada dua, plus ruang tamu di depan dan ruang tengah. Space itu memang cukup dijadikan untuk tidur bersama. Tapi kami sekeluarga merasa risi dan tidak terbiasa tidur diluar kamar. Dan yang paling krusial adalah "kamar mandi" yang relatif kurang hyegenis.


Dengan hati terpaksa, malam kami tidur di Hotel sederhana dengan kamar mandi bersih dan...pakai AC. Tetapi di kala siang kami berada dirumah orang tua di Jalan Dolok Martimbang, Sibolga. Kejadian ini menjadi buah bibir bagi keluarga.

Issu lain yang tidak terpikirkan waktu awal tahun 1990an awal, adalah kesan membawa dua mobil ke kampung, apakah dinilai merupakan kesombongan atau mau pamer kekayaan. Sejujurnya, tidak terbetik sedikitpun ada niat seperti itu. Bisa saja keluarga atau tetangga menganggap seperti itu, dan itu hak mereka. Namun jika berfikir positive, sebenarnya kami bolehlah dianggap menjadi keluarga idola, untuk memotivasi mereka untuk terus sekolah hingga Perguruan Tinggi, sebagai syarat untuk memperoleh pekerjaan yang layak.

Keesokan harinya, kami meneruskan perjalanan ke utara , melewati kampung Lapo Buntul, 20 km dari Sibolga arah Medan, dimana berdiri sebuah Sekolah dengan bangunan sangat sederhana, SD.Negeri Rampa,dimana dulu saya sekolah. Kami menawarkan bantuan sekedarnya dan Guru Guru hanya mengharapkan Radio kaset dan pakaian Olah raga, yang dengan tulus kami sumbang.

Tiga km dari sekolah itu,arah ke Tarutung, kami tiba di kampung tempat saya lahir, Lapaan Lombu. Disana Bapak dan Ibu dikebumikan, dikaki bukit, hanya 15 meter dari pinggir jalan. Anak saya paling bungsu berkata:"Papi/mami nanti jangan dikubur disini", katanya dengan polos, seraya melanjutkan :"Jauh sekali jika datang dari Medan", katanya. Jarak Medan - Sibolga, 365 km, ditempuh 7 - 8 jam dengan kondisi jalan mulus. Betul juga, kami tidak berniat Rest In Peace disini, bisa bisa dilupakan, tidak akan dilihat oleh keturunan. Syukur saat ini, 2016 sudah ada pesawat Garuda Jakarta - Sibolga - Medan - Sibolga - Jakarta.


Perjalanan dilanjutkan ke Utara lagi melewati kota Tarutung yang dingin. Sedikit diluar kota, melewati pemandian air hangat belerang, aek gurgur dari Gunung, berdiri sebuah papan nama bertuliskan "Desa Situmeang". Memang di kampung Sipoholon ini adalah asal muasal nenek moyang marga Situmeang dan kebetulan merupakan Kantor Pusat Gereja Batak, HKBP (Huria Kristen Batak Protestan). Pada bulan Juli 2009 di sini diadakan pertemuan raya marga Situmeang sedunia. Kami tidak ada rencana menginap disini, karena tidak ada keluarga langsung yang kami kenal.

Selepas kota Tarutung, melewati kota kecil , kota Siborong borong dengan ikon kota yang terkenal sejak zaman doeloe yaitu kue "ombus-ombus". Disebut ombus ombus karena kuenya dijual panas panas diatas sepeda, dalam keadaan panas. Para pedagang naik sepeda mendatangi kendaraan yang berhenti yang biasanya membeli untuk oleh oleh. Sedikit keluar kota lagi ada sebuah kampung yang tersohor dengan produk unggulan yaitu kacang yang dikenal dengan kacang Sihobuk, sesuai dengan nama kampungnya. Kacangnya gurih, menjadi teman asyik dalam perjalanan.

Satu jam kemudian kami melewati jalan berkelok kelok dengan pemandangan menakjubkan, Danau Toba terhampar jauh disebelah kiri jalan dan di lembah terhampar padi yang menguning hingga ke bibir Danau, persis seperti lukisan lukisan yang banyak dijual. Tak selang berapa lama kemudian kami melewati persawahan dikiri kanan jalan sebelum memasuki kota Balige. Daerah ini, dulu masuk kabupaten tapanuli Utara, dikenal sebagai Lumbung Padi untuk warga Tapanuli. Setengah jam kemudian kami tiba ke tempat tujuan akhir, kota kecamatan Laguboti. Dari sana berbelok ke kanan memasuki jalan sempit dari tanah, diapit pematang sawah, sejauh 5 km sampai di kampung Haunatas, dimana isteri saya lahir.

Kunjungan ke Tanah Batak asli ini, baru pertama sekali buat anak anak, melihat sendiri secara langsung rumah Ompungnya dan juga rumah asli Batak dengan tiang tinggi (photo). Rumah rumah di kampung disini pakai tiang dan tangga, dimana babi peliharaan bebas berkeliaran. Dengan hati hati kami harus melangkah menghindari kotoran menempel disepatu.
Hanya 50 meter dari situ terletak kuburan keluarga, kuburan Ayah dan kakek/nenek isteri, yang saya dan anak anak tidak sempat kenal. Dengan bercanda Pahala bertanya :"Kakek punya isteri dua?", katanya. Ayah isteri, marga Pasaribu, meninggal sewaktu dia masih dalam kandungan Ibunya. Artinya, isteri tidak sempat mengenal Ayah kandungnya dan dia dibesarkan oleh Ayah tiri. Siang itu pula kami kembali lagi ke Sibolga untuk menginap semalam sebelum pulang ke Jakarta.

Dalam perjalanan pulang ke Jakarta, disiang hari yang terik, memasuki wilayah Kabupaten Sarolangun, Propin si Jambi, jalannya mulus dan lurus sepanjang mata memandang. Untung masih segar karena situasi seperti itu biasanya membawa mata mengantuk. Kami jarang berpapasan dengan kendaraan, oleh karena itu kecepatan rata rata diatas 100 km/jam. Tiba tiba seekor kambing tambun menyeberang jalan. Brakkk.....dia terlempar ke depan, bangun dan beringsut terseret seret ke semak semak dipinggir jalan. Kamipun berhenti, turun melihat radiator Honda Accord keluaran 1990 itu ringsek. Kuatir jika penduduk datang dan marah, mobil saya larikan masuk kota Sarolangun, tidak memeriksa apakah air di radiator masih utuh atau berkurang.

Yang pertama kami cari bukan bengkel mobil, tetapi lokasi Kantor Cabang BRI, karena saya bekerja di Kantor Pusat BRI Jakarta. Kebetulan Kepala cabangnya berada di kantor. Dengan Kepala Cabang saya berkata :"Pak minta tolong dicarikan truk", kata saya. Maksud saya agar Honda Accord yang ringsek itu diangkut truk untuk diperbaiki di bengkel Honda di Jakarta. Dia bertanya:"Kenapa sampai terjadi?", katanya. Saya ulangi lagi kejadiannya serta menambahkan :"Untung mesinnya tidak meledak", kata saya seraya menambahkan :"Air radiatornya kosong menabrak kambing tadi, kami tidak tahu", kata saya geli bercampur bersyukur. Kepala BRI yang lebih junior yang baik hati itu segera mendapat truk, dan sudah sekalian membayar ongkosnya. Setelah mengucapkan terima kasih, kami pun berlalu meneruskan perjalanan memasuki Propinsi Sumatera Selatan.

Dari Sarolangun kami berpindah ke BMW, sedang kedua teman Monang ikut diatas truk sampai ke bengkel Honda, Jl.Kebon Sirih Jakarta. Naik kendaraan sendiri ke Sumatera tanpa sopir memang sangat mengasyikkan, pemandangan indah sepanjang perjalanan, tetapi penuh dengan risiko apabila tidak hati hati.

Wednesday, April 13, 2011

MEMORABLE AIR PLANE

                                          Dakota DC3
I was proud fly by Garuda airline, National carrier of Indonesia, using Dakota DC3 like photo above, in 1969 for the first time, from Kemayoran, Jakarta international airport to Sultan Taha, Jambi airport in Southern part of Sumatra island in my first job in Rubber company.

Flying by DC 3  propellers type planes seated over a chocholate chairs made of buffalo skins. When in the process of take off, we seated just like in bed position for a while.I was fly with Mr.OM.Simanjuntak, my superior and picked up by an only Notary in town using Jeep, Mr.Napitupulu.

My first trip abroad in 1970 and my third flight, flying Garuda Indoneia airline  from Jakarta airport stopped over in Changi airport on the way to Subang airport,  Kuala Lumpur by transfered plane to Singapore airline. My English couldn't understand at that time, so an Chinese  desk attendance called someone :"Talk to him", she means talked to me  in Melayu language.



My next memorable trip in our return flight from Olimpya, Washington State capital  to LAX Airport, Los Angeles in 1992 as a  United airline frequent fliers, we fly United, American company. But few minutes before boarding time, we transferred in a hurry, run to another plane, ALASKA airline . We assumed our bags would take care as well, but as we landing at LAX airport , our bags none out of the conveyor in baggage claim , left behind. We fly a strange, a new carrier company  we never knew before.



The similar experience, bag left behind happened again in 1992 we fly a carrier that some people avoided using, flying Israel national  carrier EL AL from Ben Gurion airport, Tel Aviv to Shcipol Amsterdam. We came 1 hour before the boarding time and KLM desk turn us down. Since we should catch up KLM flight in late afternoon flight, I requested to transferred us to other plane available. We never expected boarded on Israel carier EL AL. Thanks God we fly save and sound landed at Schippol airport late in the afternoon right on time

                                                               EL AL airways
.

The first experience never be forgotten, the first time flying...., the first time abroad....the first time using strange aircraft and everything for the first time experiences





Tuesday, April 12, 2011

TOUR de SIBOLGA, NORTH SUMATRA



What do you have in mind when hear the exotic Sumatra island, especially North Sumatra ? Understandable if your imagination tend to an isolated area, dusty road through the thick jungle inhabitant by wild animals, wide rivers as what we imagine about South America or Africa’s countries. Those wrong imagination make the visitors included bikers scare to plan a trip to Sumatra.




Map of Sumatra
                                
The writer

 
                                                          In Dutch era
                                                                         Recently

North Sumatra province located in Pacific ocean, bordered with Aceh province that hit and destroyed by the Tsunami at the December 2004 ago. Across the ocean is Nias island, well-known as a paradise for surfers. And in the west coast, you will find the best area and challenging road for bikers competition. The road is curving and up hill between Sibolga – Tarutung for 66 km length. The road relatively narrow, 2 lines. In the sharp bending location the vehicles have to stop aside to let other cars to pass safely. The Bus or long trucks have to back off in the sharp bending road.
In December 2010 I have an opportunity to spend more than 2 weeks on Christmas holiday, set a plan of biking trip from Sibolga in the west coast of Sumatra through up hill, curving road passing two tunnels, built in Dutch era before 1945

Drive through curving road like a snake, up hill road, deep slope down hill in left side, cliff wall on the right side of the road. The road itself was in a relatively good asphalt since Dutch era, relatively narrow. But lately, the Government gave less attention for maintenance.

My first goal in this trip is to show the people in the area or in the Indonesia as well that senior citizen or veterans are not incapable to do the tough, challenge works, just like biking 676km through up hill roads, like myself. The second goals is to know more about my root, Situmeang family, my ancestor origin coming from Tarutung, the destination town.
The last purpose is to kept a legend, a special memory. tale to tell the people in my birth place for the rest of their life that a senior 66 years of age, still capable to bike that far.

Since no rent a bike in Sibolga town, I decide to take my bike along with me by air. My mountain bike just 12 kg, so I had 13 kg spare for other kinds to carry along without overweight charges. But I had to unbolt and pack the bike properly.

The schedule set on Monday, Dec 27, 2010 at 9.30 on cloudy sky after heavy rain the night  before till dawn. That was why I start late morning. Eager to pedal faster, but in the first 2 km are extremely sharp hill, forced me to step down the saddle, walk slowly. And  in every nice locations, nice panoramas, I spent a while to shot the pictures with blue sea panorama or a genuine, thick green forest as a background.
In this trip, my back pack carry in motor bike by Mr.Simbolon to lighting my burden.

We had to stop for a while to let several Buses, trucks up and down passed 2 solid rock tunnels. The tunnels built by Dutch colonial before 2nd WW and continue by Japan. A lots of local workers died, forced them to work too hard. Many descendants of the workers still alive as a witness of Dutch and Japan soldiers brutality.
After up hill 10 kilometer is over, then facing down hill to speed up the bike before stop for a while in my village, 23 km out of Sibolga town. The villagers knew me well, most of them were my close  relatives, and I was born here. Surely this biking will kept in their memory for the rest of their life and become a legend  tale to tell my descendants when they visit this village someday.


A fruit seller, sweet duku called me Mr.Hutabarat, coming from Barat (Westerners), since a lot of white bikers passed this challenge road. I pay Rp. 10.000,- equivalent US$ 11 for a bag of sweet dukuh. My father had the trees when I was a kid. While pedaling I eat directly  on to my mouth, not necessarily to cut or washing it before.

Almost half a way, we stop by for late lunch. Unfortunately we have to wait for sometime , almost an hour to cook the meal just for both of us. While waiting for cook done, luckily, in front of the shop I meet the same family name with me “Situmeang”. You wouldn’t believe it when a man 80 years said :” I know your father well and know about your history”, he said in amusing tone. Then he continue :”We trade rubber  here and your father  well-known as a sincere in trading, differ from other businessman”, he said seriously. Of course I agree with  his statement

Late lunch and talking finished at 2.30 pm and my escort return to starting point Sibolga. Now I am on my own with additional back pack burden, make my feet slower to reach next stop, Adiankoting. Unfortunately, the rain drop lightly, indicate that will last longer. True, the rain almost stop 2 hours later, when I start at 6.30 pm after have a meal at an old Padang restaurant, I was accustomed stop by here when I was a kid. The village is 41 kilometers now or 25 kilometer to go.


Along the way many children shouting loudly say :"Good morning Sir" even it is late in the afternoon. Some say :"Inggris" or British man. A women called me "Mr.Hutabarat, means man from Barat or Westerners. Occasionally many westerners passed this challenging road with a special/multi color shirts, helms, sun glasses, gloves and others attractive thinks. It seem no Indonesian dare to try this kind of tour.


They call my the similar callings, since I used multi color shirt, sun glasses, gloves, helm and  a back pack. Some of the children run along my side with shout out loud. They didn't notice that I am originally coming from this area as well.


It was cold and tired, I can’t think clearly, I neglected that I had no light to go forward when the dark coming  down so soon. No anticipation, suddenly I faced a dark after the rain. I plow the bike slowly to. The only light available is a white line in the middle of the asphalt road. But in some places the lines disappeared and I have to step down walking slowly. Another light available is a hand phone  light just able to lighting few meters forward. A left hand hold the light and the right hand ready for brake in downhill road ahead.

My mind still to concentrated, committed on my destination not too far away, just 15 km and determinate my mind and soul to reach it tonight. Never in my life facing dark night in the middle of the jungle alone, I determine to reach it in whatever condition is. Sometime I step down to muddy water in the side of the road to let the cars pass me by.

When the vehicle passed me in both sides, I took the opportunities to pedal faster, but its not long then dark come down again. When the road up hill,  I have to step down and put my back pack over the stir handle to lighting the burden.

Enter Lobupining village, the places well known as Christian Germany assassination, I met two boys and asking help :”May I pay your flash light”, I said. Hesitate a boy answered: “I am so sorry, this is belong to other people”, he said and pointing to a small shop who sell gas lighters included flash light. He said “If this is mine I will give it to you for free” and told me :”Just tied up 3 lighter and will shine your way, they said. “Thanks so much”, I said to these honest young villagers.

Just few minutes I entered a tiny shop and a lots of men look amazed to see me using a helm just like an alien out of the shop, curiously asking :"Where do yo going?". "To Tarutung", I said politely, a town that 15 kilo
meters away. They said in unison :"Why don't you stay overnight". It was surprised to me to hear the kind offer from a villager. "Where do I supposed to stay", I asked in confusing. "In my house", one of them without hesitate offer his house.

This attitude wondered me, how kind the villagers are differ from what I think about villagers so far. But amazingly, they prefer not to decide something before asking other families that closer to my family name by saying :"Please take a walk few meters to Situmeang family house" they said pointing to the north. They let me go to a house belong to Situmeang too.Let them consider the best for me, stay or let me continue my journey, 15 kilometers ahead.

To make the story short, the Situmeang family advice me to kept the bike at their home and stop me a Bus to town to have a rest and come back in the morning to pick up the bike.
I owe 15 kilometers before the destination town, Tarutung. But reach 51 kilometers of 66 kilometers mean  77% of my commitment, make my heart satisfied and Praised God He allow me, a senior man pedaled a hard road. I dream one day I will return and spend few days at Tarutung and Sidikkalang for interesting destinations to see. Hopefully.


After exhausted  a day pedal, I return to the start point  Sibolga just for Rp. 20.000 or US$ 20  for 66 kilometers by small bus and put the bike overhead without additional costs except the token tip to the driver.
Along the way, I had a crazy idea, dreaming that one day the bending and up/down road would be arrange to be bike championship area as TOUR de PARIS and shot from the air by CNN to saw the word the beautiful Sibolga panoramas that local citizen always called Sibolga as Sibolga Nauli or Tapian Nauli. Nauli means beautiful.


Fortunately to say at the end of year 2010 was a last period of Regent  head of Sibolga district and early 2011 will election for a new Region head. My family, Bonaran Situmeang, a Jakarta lawyer, elected as a new regent head.He called me grandfather from our Family tree point of view. Hopefully this plan will execute when he is in the office next June 2011.